“To-tolong....
Jangan bunuh aku...” Pria tua itu melangkah mundur perlahan-lahan dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan, menahanku agar tidak melangkah lebih jauh
lagi. Namun, nafsu liarku sudah tak dapat kutahan. Ia terus melangkah mundur
hingga tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu, ia jatuh ke belakang. Bagus.
Pria
yang ketakutan itu merangkak mundur, sementara aku terus mendekatinya. Sedikit
saja ada kesempatan, aku berusaha untuk menancapkan mata pedangku ini pada
tubuhnya.
Berhasil! Aku
berhasil menusuk betis kanannya. Sekarang ia mengerang kesakitan. Kemudian, aku
menarik pedangku yang kini telah bersimbah darah segar miliknya. Kujilati darah
yang menggiurkan itu. Malam ini aku benar-benar seperti vampire yang haus
darah.
Jangan hentikan Anthony. Orang itu
berbahaya, dia ingin membunuhmu. Habisi dia Anthony! Habisi!
Suara dari
alam bawah sadar itu bagaikan sebuah perintah tersendiri bagiku. Aku harus
membunuhnya. Ya, aku harus membunuh orang yang berbahaya ini.
Pria
tua itu masih menyeret-nyeret kaki kanannya yang kini bersimbah darah, berusaha
menyelamatkan diri. Namun terlambat, dia terpojok disudut ruangan. Kudekati
pria tua yang ketakutan itu perlahan-lahan, kemudian berjongkok tepat
dihadapannya. Kujilati sekali lagi darah segar yang tersisa di pedangku.
Setelah itu kuangkat pedangku tinggi-tinggi, kemudian menghujamkannya tanpa
ampun pada tubuhnya.
===
Aku
terbangun dari tidurku. Mataku merah. Semalam, aku memang tidur dengan tidak
nyenyak. Lagi-lagi mimpi itu kembali menghantui malamku. Mimpi mengerikan, dimana
aku selalu berperan sebagai seorang pembunuh berdarah dingin. Anehnya, semua
yang kubunuh dalam mimpiku adalah orang-orang dekatku. Dan semua itu menjadi
kenyataan. Satu persatu mereka tewas dengan sangat tragis, tanpa kutahu
sebabnya. Dan tadi malam, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo dengan kejam.
“Tuan
muda Anthony...” Seorang wanita setengah baya dengan pakaian maid yang telah
kusut mengintip dari celah pintu kamarku yang sedikit terbuka.
“Masuklah...”
Perintahku seraya berdiri dan meregangkan otot-ototku. Wanita yang membawa
nampan berisi pancake itu segera meletakkan nampannya di sebuah meja di sudut
kamarku. Ia bertingkah seperti orang panik yang sedang berpikir bagaimana
caranya keluar dari masalah pelik. Ia memandangku dengan was-was.
“Ada
apa?” Tanyaku yang mulai tidak menyukai caranya menatapku.
“Tu-tuan
muda... itu... Tuan Ricardo, dia... tewas.” Ucap wanita itu terbata-bata dengan
suara yang melemah pada bagian akhir kalimat. Terang saja, aku langsung
terkejut mendengar ucapannya barusan, walau sesungguhnya aku telah menduga hal
ini akan terjadi sebelumnya.
“Paman!”
Aku segera menghambur menuju ruang makan, tempat yang kuyakini sebagai tempat
terbunuhnya pamanku. Ya, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo di ruang makan
keluarga.
Dan
benar saja, kutemukan Paman Ricardo dalam keadaan sudah tak bernyawa. Tubuhnya
bersimbah darah, penuh tusukan disana-sini. Dan... astaga! Sebuah luka tusukan
di perut bagian bawahnya mengingatkanku pada mimpiku semalam. Salah satu bagian
yang kuingat dalam mimpiku, bahwa aku menusuk Paman Ricardo di perut bagian
bawah.
“Anthony...”
Diantara kerumunan orang, seorang gadis berambut ikal panjang yang sedang
menangis berlari mendekat, kemudian memelukku. Kubiarkan ia menangis dalam
pelukanku. Ialah Natasha, tunanganku sekaligus putri angkat Paman Ricardo.
Tentunya ia sangat terpukul dengan kematian tragis ayah angkatnya, begitu pula
denganku.
“Tuan
Anthony, saya William Joseph dari kejaksaan. Saya dengar salah seorang pelayan
semalam melihat anda ada di ruangan ini dengan pakaian tidur yang bersimbah
darah. Apakah hal itu benar tuan?” Tanya seorang lelaki berambut pirang secara
tiba-tiba padaku.
“Saya
tidak tahu Jaksa William. Semalam saya tidur di kamar saya. Tetapi...”
“Tetapi
apa?”
“Tetapi
semalam saya bermimpi aneh. Saya bermimpi bahwa sayalah yang membunuh Paman
Ricardo. Saya menusuknya dengan sangat kejam menggunakan pedang turun-temurun
keluarga kerajaan.” Ucapku seraya menunjuk sebuah kotak kaca tempat dimana
pedang legendaris itu disimpan. Betapa terkejutnya aku, pedang itu kini sudah
tak ada ditempatnya.
“Maksud
anda pedang yang inikah?” Jaksa itu kemudian menyerahkan sebuah pedang yang
telah bersimbah darah padaku. Sepintas, aku mengira pedang itu adalah pedang
biasa. Namun, setelah kuperhatikan kembali gagang pedang itu, barulah aku sadar
bahwa itu adalah pedang legendaris kami.
“Ba-bagaimana
bisa?”
“Kami
menemukan pedang ini ada di dekat korban. Kemungkinan besar pedang inilah yang
digunakan pelaku untuk membunuh korban. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Terima kasih atas kerjasamanya. Maaf kami telah lancang mengganggu
keluarga kerajaan.” Jaksa William beserta para pengawalnya membungkukkan badan,
kemudian berlalu pergi.
===
Kembali
aku terbayang-bayang dengan peristiwa kematian Paman Ricardo yang tragis.
Memang bukan baru kali ini saja hal aneh seperti ini terjadi. Sebelum ini aku
pernah bermimpi membunuh ayah, nenek, serta kakekku sendiri. Dan semua itu
benar-benar terjadi. Mereka semua tewas, persis seperti apa yang ada dalam
mimpiku.
Aku
yakin, malam ini pun aku pasti akan kembali bermimpi membunuh salah satu orang
dekatku. Maka, aku pun mencoba untuk tetap terjaga dari tidurku. Namun, baru
sepuluh menit berlalu, rasa kantuk secara tiba-tiba mulai menyerangku.
Tidak!
Aku tidak boleh tertidur! Malam ini aku harus terjaga. Aku harus memastikan
bahwa bukan aku yang membunuh mereka. Tidak mungkin aku membunuh mereka. Ya,
tidak mungkin!
Anthony... Anthony...
Sebuah
suara bisikkan mengerikan menggaung tepat di dekat daun telingaku. Betapa terkejutnya
aku. Kulihat sekeliling kamarku, memperhatikan setiap detil sudutnya. Nihil.
Tak ada siapapun disana, bahkan dibawah meja maupun dibalik lemari pakaianku
yang terbuat dari kaca.
Anthony... Anthony...
Suara
serak parau itu kembali terdengar. Namun kali ini lebih jelas, memenuhi seluruh
ruangan. Kembali kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Namun hasil nihil
pun kembali kudapat. Dengan ketakutan, kuraih sebuah pisau yang kusembunyikan
dibalik bantalku. Dengan posisi siaga, aku bangkit dari ranjangku.
“Si-siapa
kau? Apa kau yang membunuh mereka?” Tanyaku dengan penuh ketakutan. Hening
sesaat.
Ya... akulah yang melakukan itu. Aku
melakukannya demi kau, Anthony. Aku akan selalu melindungimu dari anak-anak
nakal itu.
Suara
itu semakin jelas terdengar. Sekarang jantungku sudah tak dapat diajak
berkompromi lagi. Aku menelan ludah dan kembali bertanya pada suara itu.
“Apa
yang kau maksud? Keluar kau! Tunjukkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?”
Mari kita bermain bersama Anthony...
Hembusan
angin dingin tiba-tiba merayap di tengkukku. Kepulan kabut yang cukup tebal secara
tiba-tiba memenuhi kamarku. Sesaat, aku melihat seorang bocah laki-laki berumur
sekitar 12 tahun tersenyum menyeringai kepadaku di balik kabut.
Siapa dia?
Tunggu... sepertinya aku mengenalinya.
“Uhukk...”
Kabut ini membuat dadaku sesak, aku terbatuk. Dengan sisa tenagaku, aku mencoba
untuk berjalan kearah pintu. Sungguh lemah tubuhku. Aku hanya dapat tertatih
perlahan menuju satu-satunya pintu penyelamatku.
Bocah
laki-laki itu kini berdiri tepat dihadapanku. Senyumnya menyeringai, dengan
mata merah menyala. Kulitnya putih pucat. Ia menjulurkan tangannya kepadaku,
seakan ingin menolongku. Namun, segera kutepis uluran tangannya itu dan kembali
merangkak menuju pintu. Ia kembali menghadangku.
Kau kenapa Anthony? Kau jatuh? Siapa yang
mendorongmu? Biar kuberi pelajaran dia yang telah mendorongmu itu.
Sosok
bocah laki-laki itu menghilang di dalam kabut yang begitu pekat. Bersamaan
dengan itu, aku merasa kesadaranku semakin menghilang. Namun, kucoba untuk
tetap terjaga. Dan secara tiba-tiba pula, entah mengapa, aku dapat berdiri
dengan tegak dan berjalan menuju pintu. Bahkan tanganku kini memutar-mutar
kenop pintu, mencoba membukanya. Aneh sekali, padahal aku merasa bahwa tenagaku
sangat lemah dengan kesadaran yang juga semakin menghilang.
Tunggu
dulu... ini bukan aku. Ya, yang sedang menggerakan tubuhku bukanlah diriku
sendiri. Semua yang saat ini kulakukan berada diluar kendali naluri dan
keinginan nuraniku. Apa yang terjadi padaku? Sekarang, dengan kesadaran yang
masih tersisa, aku mendapati diriku sendiri berjalan keluar melalui
lorong-lorong gelap rumahku.
Aku
melangkah perlahan menuju sebuah kamar dengan pintu yang dihiasi permata
berwarna biru safir. Kamar ini... kamar ini adalah kamar Nathasha. Apa yang
akan dilakukan oleh diriku yang tengah digerakkan orang lain ini?
Perlahan
tapi pasti, aku mendekati Natasha yang tengah tertidur dengan pulas di
ranjangnya. Oh, sungguh aku tidak ingin membangunkan bidadariku saat ia tengah
tertidur damai. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak, jangan lukai Natasha!
Aku mencintainya. Siapapun yang saat ini mengendalikan tubuhku, jangan lukai
gadis itu! Kumohon.
Tanpa
kusadari lagi, tanganku yang membawa sebilah pisau terangkat tinggi-tinggi,
tepat diatas dada Natasha. Apa yang dapat kulakukan? Aku tak ada daya untuk
menghalangi makhluk yang sedang berdiam dalam tubuhku ini. Dalam hati, aku
hanya dapat menangis. Dan, dengan cepat, tanganku menghujamkan mata pisau itu
secara keji pada tubuh gadis yang sangat kucintai.
===
Aku
membunuhnya. Aku membunuh kekasihku sendiri. Betapa menyesalnya aku. Seharian,
yang dapat kulakukan hanya merutuki diriku sendiri dan menghindari dunia luar.
Nafsu makanku menghilang begitu saja. Aku tidak tertarik lagi untuk hidup di
dunia ini tanpa orang-orang yang aku kasihi. Aku telah kehilangan semuanya.
Kehilangan ayah, nenek, kakek, Paman Ricardo, dan sekarang Natasha pun pergi meninggalkanku.
“Tuan
Muda Anthony... keluarlah. Keluarga Tuan telah menanti kehadiran Tuan Muda.
Jasad Nona Natasha akan dimakamkan sebentar lagi.” Seorang maid memanggilku
dari balik pintu.
“Anthony,
keluarlah. Jangan egois! Bukankah kau sangat mencintai gadis itu? Maka
keluarlah sekarang. Setidaknya, kau harus hadir disaat terakhirnya akan
dimakamkan.” Itu suara ibu. Ibu? Mengapa ia datang kemari setelah 10 tahun
tidak bersua? Untuk apa ia datang sekarang? Ia telah mencampakkanku dan ayah.
Ia bahkan dulu menentang hubunganku dengan Natasha dan berusaha membunuh gadis
itu. Aku benci ibu.
“Tuan
Muda Anthony, kami mohon. Jika tidak, maka Nyonya akan mengirim Tuan Muda Henry
ke Berlin.” Mengirim Henry, adikku, pergi? Apa yang ada di benak nenek sihir
itu? Selama ini ia tidak pernah menengokku, bahkan aku sudah lupa bahwa aku
memiliki seorang ibu. Hanya ayah dan Henry yang setia menemaniku. Mengapa
sekarang ia ingin membawanya pergi? Uh! Jika bukan karena ancaman itu, maka aku
tidak akan menuruti perintahnya.
===
Angin
sepoi berhembus mengusap lembut rambutku yang pirang. Aku hanya dapat mematung
menatap peti berisi jasad gadis yang sangat kucintai diturunkan ke dalam liang
lahat. Ingin rasanya aku menangis, namun aku mencoba untuk lebiih tegar
menerima ini semua. Terkadang, ingin aku membunuh diriku sendiri agar tanganku
yang kotor ini tak lagi membunuh orang-orang yang kucintai.
“Walau
kau datang ke upacara pemakaman, tidak akan ada yang berubah. Ibu akan tetap
mengirim Henry ke Berlin. Ia akan menyelesaikan studinya disana.” Ucap ibuku.
Aku tahu itu. Sejak dulu ibu memang seorang pembohong. Namun, Henry memang
sebaiknya berada jauh dariku. Aku sangat berbahaya, aku dapat membunuhnya
sewaktu-waktu.
“Setelah
kehilangan kakakmu, ibu tidak ingin kehilangan kalian lagi.” Ucap ibuku. Ah,
bahkan aku lupa aku pernah memiliki seorang kakak. Kakak laki-laki yang telah
meninggal 10 tahun lalu.
Dahulu,
hubunganku dengan kakakku jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan Henry.
Kami selalu bermain bersama dan ia selalu menjagaku dari anak-anak nakal yang
sangat suka menjahiliku karena menganggapku seperti anak perempuan. Ketika aku
menangis, kakak selalu dapat menenangkanku.
Sejak
kepergian kakak, aku berusaha untuk melupakan segala kenangan masa kecil itu.
Aku tahu bahwa kakak sangat menyayangiku, namun aku tidak sanggup menyakiti
batinku sendiri dengan mengingat kepingan-kepingan cerita masa laluku. Aku
ingat ketika kakak didera sakit yang tak mungkin dapat disembuhkan, ia berkata
bahwa ia akan tetap menjagaku dari atas, dan aku mempercayai itu.
Sekilas,
terlintas di benakku untuk berziarah ke makam kakak. Beserta dengan seorang
maid yang bertugas menjagaku, aku memisahkan diri dari kerumunan pelayat dan
mulai berjalan sendiri menuju sebuah nisan yang terbuat dari batu pualam putih.
Disini terbaring
dengan tenang
Arthur James Buttington
12 Desember 1854
Nama
yang sangat kurindukan terukir indah diatas batu nisan itu. Wajah bocah
laki-laki yang sedang tertawa pun terpahat dengan rapi di atas batu nisan itu.
Ah, wajah kakakku, wajah yang amat kurindukan.
Kuusap
lembut patung ini, memperhatikan setiap detailnya. Patung ini membawa ingatanku
kembali pada masa lalu, 10 tahun lalu, ketika kami masih sering bermain
bersama. Aku teringat wajahnya, teringat senyumnya, dan teringat dengan suara
seraknya.
Tunggu dulu...
wajah ini...
Anthony... Anthony...
Ah!
Suara itu lagi! Kini suara itu terdengar menggema dimana-mana. Pandanganku
kabur, dadaku sakit. Tenagaku terasa menghilang begitu saja. Tiba-tiba, rasa
pening yang amat luar biasa membuatku melenguh kesakitan dan jatuh tak berdaya.
“Tu-tuan
Muda? Tuan Muda! Tolong!” Kudengar maid itu berteriak meminta tolong seraya
mengguncang-guncang tubuhku. Aku pun masih sempat melihat ibu bersama rombongan
pelayat lainnya berlari ke arahku. Dan setelah itu, semua menjadi gelap gulita.
===
Anthony... Anthony...
Suara
serak itu masih saja memenuhi isi kepalaku. Berdengung sangat merdu, sekalipun
kututup gendang telingaku rapat-rapat. Suara itu semakin menjadi-jadi,
menginvasi alam bawah sadarku. Aku tidak bisa, aku tidak tahan lagi.
“Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh!!!”
Aku berteriak sekuat tenaga, berusaha mengungguli suara serak aneh itu. Aku
menangis, dan jatuh berlutut. Apa aku telah menjadi gila? Siapa kau? Siapa kau
yang selalu membisikkan kata-kata aneh itu? Apakah kau yang selama ini
menggunakan tubuhku untuk membunuh mereka? Kenapa kau mengendalikanku? Kenapa?
Aku
menangis, dan hanya dapat menangis. Kemudian, entah mengapa, suara itu berubah menjadi sangat lembut.
Lembut, lembut sekali. Suara yang sangat kurindukan selama 10 tahun ini.
Tenang saja Anthony, aku akan melindungimu. Kau
masih ingat pada janjku bukan? Aku akan melindungimu dari sini. Hanya aku saja
yang dapat melindungimu. Ya, hanya aku...
=TAMAT=





0 komentar:
Posting Komentar