Minggu, 25 November 2012

The Eternal Voice (Thriller Oneshoot)

               “To-tolong.... Jangan bunuh aku...” Pria tua itu melangkah mundur perlahan-lahan dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan, menahanku agar tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun, nafsu liarku sudah tak dapat kutahan. Ia terus melangkah mundur hingga tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu, ia jatuh ke belakang. Bagus.
                Pria yang ketakutan itu merangkak mundur, sementara aku terus mendekatinya. Sedikit saja ada kesempatan, aku berusaha untuk menancapkan mata pedangku ini pada tubuhnya.
Berhasil! Aku berhasil menusuk betis kanannya. Sekarang ia mengerang kesakitan. Kemudian, aku menarik pedangku yang kini telah bersimbah darah segar miliknya. Kujilati darah yang menggiurkan itu. Malam ini aku benar-benar seperti vampire yang haus darah.
                Jangan hentikan Anthony. Orang itu berbahaya, dia ingin membunuhmu. Habisi dia Anthony! Habisi!
Suara dari alam bawah sadar itu bagaikan sebuah perintah tersendiri bagiku. Aku harus membunuhnya. Ya, aku harus membunuh orang yang berbahaya ini.
                Pria tua itu masih menyeret-nyeret kaki kanannya yang kini bersimbah darah, berusaha menyelamatkan diri. Namun terlambat, dia terpojok disudut ruangan. Kudekati pria tua yang ketakutan itu perlahan-lahan, kemudian berjongkok tepat dihadapannya. Kujilati sekali lagi darah segar yang tersisa di pedangku. Setelah itu kuangkat pedangku tinggi-tinggi, kemudian menghujamkannya tanpa ampun pada tubuhnya.
===
                Aku terbangun dari tidurku. Mataku merah. Semalam, aku memang tidur dengan tidak nyenyak. Lagi-lagi mimpi itu kembali menghantui malamku. Mimpi mengerikan, dimana aku selalu berperan sebagai seorang pembunuh berdarah dingin. Anehnya, semua yang kubunuh dalam mimpiku adalah orang-orang dekatku. Dan semua itu menjadi kenyataan. Satu persatu mereka tewas dengan sangat tragis, tanpa kutahu sebabnya. Dan tadi malam, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo dengan kejam.
                “Tuan muda Anthony...” Seorang wanita setengah baya dengan pakaian maid yang telah kusut mengintip dari celah pintu kamarku yang sedikit terbuka.
                “Masuklah...” Perintahku seraya berdiri dan meregangkan otot-ototku. Wanita yang membawa nampan berisi pancake itu segera meletakkan nampannya di sebuah meja di sudut kamarku. Ia bertingkah seperti orang panik yang sedang berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah pelik. Ia memandangku dengan was-was.
                “Ada apa?” Tanyaku yang mulai tidak menyukai caranya menatapku.
                “Tu-tuan muda... itu... Tuan Ricardo, dia... tewas.” Ucap wanita itu terbata-bata dengan suara yang melemah pada bagian akhir kalimat. Terang saja, aku langsung terkejut mendengar ucapannya barusan, walau sesungguhnya aku telah menduga hal ini akan terjadi sebelumnya.
                “Paman!” Aku segera menghambur menuju ruang makan, tempat yang kuyakini sebagai tempat terbunuhnya pamanku. Ya, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo di ruang makan keluarga.
                Dan benar saja, kutemukan Paman Ricardo dalam keadaan sudah tak bernyawa. Tubuhnya bersimbah darah, penuh tusukan disana-sini. Dan... astaga! Sebuah luka tusukan di perut bagian bawahnya mengingatkanku pada mimpiku semalam. Salah satu bagian yang kuingat dalam mimpiku, bahwa aku menusuk Paman Ricardo di perut bagian bawah.
                “Anthony...” Diantara kerumunan orang, seorang gadis berambut ikal panjang yang sedang menangis berlari mendekat, kemudian memelukku. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. Ialah Natasha, tunanganku sekaligus putri angkat Paman Ricardo. Tentunya ia sangat terpukul dengan kematian tragis ayah angkatnya, begitu pula denganku.
                “Tuan Anthony, saya William Joseph dari kejaksaan. Saya dengar salah seorang pelayan semalam melihat anda ada di ruangan ini dengan pakaian tidur yang bersimbah darah. Apakah hal itu benar tuan?” Tanya seorang lelaki berambut pirang secara tiba-tiba  padaku.
                “Saya tidak tahu Jaksa William. Semalam saya tidur di kamar saya. Tetapi...”
                “Tetapi apa?”
                “Tetapi semalam saya bermimpi aneh. Saya bermimpi bahwa sayalah yang membunuh Paman Ricardo. Saya menusuknya dengan sangat kejam menggunakan pedang turun-temurun keluarga kerajaan.” Ucapku seraya menunjuk sebuah kotak kaca tempat dimana pedang legendaris itu disimpan. Betapa terkejutnya aku, pedang itu kini sudah tak ada ditempatnya.
                “Maksud anda pedang yang inikah?” Jaksa itu kemudian menyerahkan sebuah pedang yang telah bersimbah darah padaku. Sepintas, aku mengira pedang itu adalah pedang biasa. Namun, setelah kuperhatikan kembali gagang pedang itu, barulah aku sadar bahwa itu adalah pedang legendaris kami.
                “Ba-bagaimana bisa?”
                “Kami menemukan pedang ini ada di dekat korban. Kemungkinan besar pedang inilah yang digunakan pelaku untuk membunuh korban. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terima kasih atas kerjasamanya. Maaf kami telah lancang mengganggu keluarga kerajaan.” Jaksa William beserta para pengawalnya membungkukkan badan, kemudian berlalu pergi.
===
                Kembali aku terbayang-bayang dengan peristiwa kematian Paman Ricardo yang tragis. Memang bukan baru kali ini saja hal aneh seperti ini terjadi. Sebelum ini aku pernah bermimpi membunuh ayah, nenek, serta kakekku sendiri. Dan semua itu benar-benar terjadi. Mereka semua tewas, persis seperti apa yang ada dalam mimpiku.
                Aku yakin, malam ini pun aku pasti akan kembali bermimpi membunuh salah satu orang dekatku. Maka, aku pun mencoba untuk tetap terjaga dari tidurku. Namun, baru sepuluh menit berlalu, rasa kantuk secara tiba-tiba mulai menyerangku.
                Tidak! Aku tidak boleh tertidur! Malam ini aku harus terjaga. Aku harus memastikan bahwa bukan aku yang membunuh mereka. Tidak mungkin aku membunuh mereka. Ya, tidak mungkin!
                Anthony... Anthony...
                Sebuah suara bisikkan mengerikan menggaung tepat di dekat daun telingaku. Betapa terkejutnya aku. Kulihat sekeliling kamarku, memperhatikan setiap detil sudutnya. Nihil. Tak ada siapapun disana, bahkan dibawah meja maupun dibalik lemari pakaianku yang terbuat dari kaca.
                Anthony... Anthony...
                Suara serak parau itu kembali terdengar. Namun kali ini lebih jelas, memenuhi seluruh ruangan. Kembali kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Namun hasil nihil pun kembali kudapat. Dengan ketakutan, kuraih sebuah pisau yang kusembunyikan dibalik bantalku. Dengan posisi siaga, aku bangkit dari ranjangku.
                “Si-siapa kau? Apa kau yang membunuh mereka?” Tanyaku dengan penuh ketakutan. Hening sesaat.
                Ya... akulah yang melakukan itu. Aku melakukannya demi kau, Anthony. Aku akan selalu melindungimu dari anak-anak nakal itu.
                Suara itu semakin jelas terdengar. Sekarang jantungku sudah tak dapat diajak berkompromi lagi. Aku menelan ludah dan kembali bertanya pada suara itu.
                “Apa yang kau maksud? Keluar kau! Tunjukkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?”
                Mari kita bermain bersama Anthony...
                Hembusan angin dingin tiba-tiba merayap di tengkukku. Kepulan kabut yang cukup tebal secara tiba-tiba memenuhi kamarku. Sesaat, aku melihat seorang bocah laki-laki berumur sekitar 12 tahun tersenyum menyeringai kepadaku di balik kabut.
Siapa dia? Tunggu... sepertinya aku mengenalinya.
                “Uhukk...” Kabut ini membuat dadaku sesak, aku terbatuk. Dengan sisa tenagaku, aku mencoba untuk berjalan kearah pintu. Sungguh lemah tubuhku. Aku hanya dapat tertatih perlahan menuju satu-satunya pintu penyelamatku.
                Bocah laki-laki itu kini berdiri tepat dihadapanku. Senyumnya menyeringai, dengan mata merah menyala. Kulitnya putih pucat. Ia menjulurkan tangannya kepadaku, seakan ingin menolongku. Namun, segera kutepis uluran tangannya itu dan kembali merangkak menuju pintu. Ia kembali menghadangku.
                Kau kenapa Anthony? Kau jatuh? Siapa yang mendorongmu? Biar kuberi pelajaran dia yang telah mendorongmu itu.
                Sosok bocah laki-laki itu menghilang di dalam kabut yang begitu pekat. Bersamaan dengan itu, aku merasa kesadaranku semakin menghilang. Namun, kucoba untuk tetap terjaga. Dan secara tiba-tiba pula, entah mengapa, aku dapat berdiri dengan tegak dan berjalan menuju pintu. Bahkan tanganku kini memutar-mutar kenop pintu, mencoba membukanya. Aneh sekali, padahal aku merasa bahwa tenagaku sangat lemah dengan kesadaran yang juga semakin menghilang.
                Tunggu dulu... ini bukan aku. Ya, yang sedang menggerakan tubuhku bukanlah diriku sendiri. Semua yang saat ini kulakukan berada diluar kendali naluri dan keinginan nuraniku. Apa yang terjadi padaku? Sekarang, dengan kesadaran yang masih tersisa, aku mendapati diriku sendiri berjalan keluar melalui lorong-lorong gelap rumahku.
                Aku melangkah perlahan menuju sebuah kamar dengan pintu yang dihiasi permata berwarna biru safir. Kamar ini... kamar ini adalah kamar Nathasha. Apa yang akan dilakukan oleh diriku yang tengah digerakkan orang lain ini?
                Perlahan tapi pasti, aku mendekati Natasha yang tengah tertidur dengan pulas di ranjangnya. Oh, sungguh aku tidak ingin membangunkan bidadariku saat ia tengah tertidur damai. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak, jangan lukai Natasha! Aku mencintainya. Siapapun yang saat ini mengendalikan tubuhku, jangan lukai gadis itu! Kumohon.
                Tanpa kusadari lagi, tanganku yang membawa sebilah pisau terangkat tinggi-tinggi, tepat diatas dada Natasha. Apa yang dapat kulakukan? Aku tak ada daya untuk menghalangi makhluk yang sedang berdiam dalam tubuhku ini. Dalam hati, aku hanya dapat menangis. Dan, dengan cepat, tanganku menghujamkan mata pisau itu secara keji pada tubuh gadis yang sangat kucintai.
===
                Aku membunuhnya. Aku membunuh kekasihku sendiri. Betapa menyesalnya aku. Seharian, yang dapat kulakukan hanya merutuki diriku sendiri dan menghindari dunia luar. Nafsu makanku menghilang begitu saja. Aku tidak tertarik lagi untuk hidup di dunia ini tanpa orang-orang yang aku kasihi. Aku telah kehilangan semuanya. Kehilangan ayah, nenek, kakek, Paman Ricardo, dan sekarang Natasha pun pergi meninggalkanku.
                “Tuan Muda Anthony... keluarlah. Keluarga Tuan telah menanti kehadiran Tuan Muda. Jasad Nona Natasha akan dimakamkan sebentar lagi.” Seorang maid memanggilku dari balik pintu.
                “Anthony, keluarlah. Jangan egois! Bukankah kau sangat mencintai gadis itu? Maka keluarlah sekarang. Setidaknya, kau harus hadir disaat terakhirnya akan dimakamkan.” Itu suara ibu. Ibu? Mengapa ia datang kemari setelah 10 tahun tidak bersua? Untuk apa ia datang sekarang? Ia telah mencampakkanku dan ayah. Ia bahkan dulu menentang hubunganku dengan Natasha dan berusaha membunuh gadis itu. Aku benci ibu.
                “Tuan Muda Anthony, kami mohon. Jika tidak, maka Nyonya akan mengirim Tuan Muda Henry ke Berlin.” Mengirim Henry, adikku, pergi? Apa yang ada di benak nenek sihir itu? Selama ini ia tidak pernah menengokku, bahkan aku sudah lupa bahwa aku memiliki seorang ibu. Hanya ayah dan Henry yang setia menemaniku. Mengapa sekarang ia ingin membawanya pergi? Uh! Jika bukan karena ancaman itu, maka aku tidak akan menuruti perintahnya.
===
                Angin sepoi berhembus mengusap lembut rambutku yang pirang. Aku hanya dapat mematung menatap peti berisi jasad gadis yang sangat kucintai diturunkan ke dalam liang lahat. Ingin rasanya aku menangis, namun aku mencoba untuk lebiih tegar menerima ini semua. Terkadang, ingin aku membunuh diriku sendiri agar tanganku yang kotor ini tak lagi membunuh orang-orang yang kucintai.
                “Walau kau datang ke upacara pemakaman, tidak akan ada yang berubah. Ibu akan tetap mengirim Henry ke Berlin. Ia akan menyelesaikan studinya disana.” Ucap ibuku. Aku tahu itu. Sejak dulu ibu memang seorang pembohong. Namun, Henry memang sebaiknya berada jauh dariku. Aku sangat berbahaya, aku dapat membunuhnya sewaktu-waktu.
                “Setelah kehilangan kakakmu, ibu tidak ingin kehilangan kalian lagi.” Ucap ibuku. Ah, bahkan aku lupa aku pernah memiliki seorang kakak. Kakak laki-laki yang telah meninggal 10 tahun lalu.
Dahulu, hubunganku dengan kakakku jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan Henry. Kami selalu bermain bersama dan ia selalu menjagaku dari anak-anak nakal yang sangat suka menjahiliku karena menganggapku seperti anak perempuan. Ketika aku menangis, kakak selalu dapat menenangkanku.
                Sejak kepergian kakak, aku berusaha untuk melupakan segala kenangan masa kecil itu. Aku tahu bahwa kakak sangat menyayangiku, namun aku tidak sanggup menyakiti batinku sendiri dengan mengingat kepingan-kepingan cerita masa laluku. Aku ingat ketika kakak didera sakit yang tak mungkin dapat disembuhkan, ia berkata bahwa ia akan tetap menjagaku dari atas, dan aku mempercayai itu.
                Sekilas, terlintas di benakku untuk berziarah ke makam kakak. Beserta dengan seorang maid yang bertugas menjagaku, aku memisahkan diri dari kerumunan pelayat dan mulai berjalan sendiri menuju sebuah nisan yang terbuat dari batu pualam putih.
                Disini terbaring dengan tenang
                Arthur James Buttington
                12 Desember 1854
                Nama yang sangat kurindukan terukir indah diatas batu nisan itu. Wajah bocah laki-laki yang sedang tertawa pun terpahat dengan rapi di atas batu nisan itu. Ah, wajah kakakku, wajah yang amat kurindukan.
                Kuusap lembut patung ini, memperhatikan setiap detailnya. Patung ini membawa ingatanku kembali pada masa lalu, 10 tahun lalu, ketika kami masih sering bermain bersama. Aku teringat wajahnya, teringat senyumnya, dan teringat dengan suara seraknya.
Tunggu dulu... wajah ini...
                Anthony... Anthony...
                Ah! Suara itu lagi! Kini suara itu terdengar menggema dimana-mana. Pandanganku kabur, dadaku sakit. Tenagaku terasa menghilang begitu saja. Tiba-tiba, rasa pening yang amat luar biasa membuatku melenguh kesakitan dan jatuh tak berdaya.
                “Tu-tuan Muda? Tuan Muda! Tolong!” Kudengar maid itu berteriak meminta tolong seraya mengguncang-guncang tubuhku. Aku pun masih sempat melihat ibu bersama rombongan pelayat lainnya berlari ke arahku. Dan setelah itu, semua menjadi gelap gulita.
===
                Anthony... Anthony...
                Suara serak itu masih saja memenuhi isi kepalaku. Berdengung sangat merdu, sekalipun kututup gendang telingaku rapat-rapat. Suara itu semakin menjadi-jadi, menginvasi alam bawah sadarku. Aku tidak bisa, aku tidak tahan lagi.
                “Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh!!!” Aku berteriak sekuat tenaga, berusaha mengungguli suara serak aneh itu. Aku menangis, dan jatuh berlutut. Apa aku telah menjadi gila? Siapa kau? Siapa kau yang selalu membisikkan kata-kata aneh itu? Apakah kau yang selama ini menggunakan tubuhku untuk membunuh mereka? Kenapa kau mengendalikanku? Kenapa?
                Aku menangis, dan hanya dapat menangis. Kemudian, entah mengapa,  suara itu berubah menjadi sangat lembut. Lembut, lembut sekali. Suara yang sangat kurindukan selama 10 tahun ini.
                Tenang saja Anthony, aku akan melindungimu. Kau masih ingat pada janjku bukan? Aku akan melindungimu dari sini. Hanya aku saja yang dapat melindungimu. Ya, hanya aku...
=TAMAT=

0 komentar:

Posting Komentar