Sabtu, 21 Juli 2012

IT IS NOT ONLY A NIGHTMARE

                Aku berdiri terpaku di depan jendela kamarku yang terbuka lebar. Semilir angin malam yang membelai pucuk-pucuk rambutku tak kuhiraukan. Kuperhatikan pemandangan indah di bawah naungan cahaya sang rembulan malam ini. Pantai yang terkikis air laut, nyiur yang melambai, serta deburan ombak adalah klise pemandangan yang tergambar dibalik jendela kamarku.
                “Alfred, turun nak! Ayo bantu-bantu!” Terdengar suara Mamaku memanggilku dari bawah. Aku segera keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang bawah, tanpa menutup jendela kamarku terlebih dahulu.
                Yep! Aku dan keluargaku baru saja pindah ke Kota Tua Pevensie, sebuah kota kecil indah yang terletak di kaki bukit Oz. Beruntungnya kami, karena kami memperoleh sebuah rumah yang nyaman dan terletak di dekat pantai. Itulah sebabnya aku dapat melihat pantai dan laut dari jendela kamarku.
                “Alfred, kamu bantu kakakmu beres-beres di kamar belakang.” Ujar Papaku. Aku hanya mengangguk dan berlari menuju kamar belakang yang dimaksud oleh Papaku. Sebuah kamar berbau amis yang menyengat, dengan suasana gelap dan menyeramkan.
Kamar ini memang tidak akan dipakai untuk tidur oleh anggota keluargaku. Maka Alex, yang kurasa mungkin sudah tidak waras, bermaksud untuk menjadikan kamar belakang itu sebagai tempat melakukan eksperimen-eksperimen gilanya.
“Hei Alex! Masih sudi kamu melakukan hal-hal gila begitu?” Yep! Alex adalah nama kakakku yang tidak waras itu. Huh, aku tak akan sudi memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Yang benar saja, bahkan sikapku jauh lebih dewasa daripada dia.
“Hei, mau bantu nggak sih kamu? Ayo sini, bantu!” Dia menarik tanganku dengan kasar dan memberikan sebuah sapu ijuk padaku. Sial, lagi-lagi aku diperlakukan bagaikan pembantunya saja.
Dengan enggan, aku menyapu seluruh ruangan itu seraya membersihkan sarang laba-laba yang banyak bertebaran di ruangan itu, sementara Alex memindahkan barang-barang yang ditimbun disana untuk kemudian dibuang. Tidak jarang aku menemukan bangkai tikus, ular, atau hewan sebagainya di sudut-sudut ruangan. Ingin muntah rasanya.
Hei! Aku menemukan sebuah boneka kayu teronggok di kolong meja yang diletakkan di salah satu sudut kamar itu. Boneka kayu itu berwujud anak laki-laki yang mengenakan setelan pesta, yaitu kemeja putih dan jas hitam, dengan dasi pita melingkar di kerah kemejanya. Kuperkirakan, boneka ini pasti sudah lama sekali ditinggal oleh pemilik rumah ini sebelumnya. Kupungut boneka itu dan kuperhatikan bagian telapak kaki dari boneka itu, tertulis sebuah nama disana. ‘Jannu’
“Ada apa?” Tak kusadari, Alex ternyata menghampiriku dari belakang.
“Oh... nggak apa-apa. Ini, aku menemukan sebuah boneka.” Aku menunjukkan boneka itu padanya. Seperti biasa, ketika melihat boneka, matanya langsung berbinar-binar, bagaikan elang yang sedang melihat mangsanya. Ia merebut boneka kayu itu dari genggamanku.
“Yang ini biar Kakak saja yang simpan! Lumayan, bisa jadi bahan eksperimen.” Ucapnya senang. Aku segera merebutnya kembali.
“Enak saja! Gila kamu! Boneka ini aku yang menemukan. Aku yang akan simpan boneka ini!” Ucapku ketus pada Alex. Ia hanya menatapku sinis dan kembali melanjutkan pekerjaannya memindahkan barang-barang. Memang benar-benar kakak yang aneh.
Akhirnya acara bersih-bersih berakhir sudah. Aku kembali naik ke kamarku dan merebahkan diri di kasur yang empuk. Sungguh nyaman sekali rumah ini. Apalagi rumah ini cukup besar, tidak seperti rumahku yang lama. Kamar Alex berada jauh sekali dari kamarku dan ia juga telah mempunyai ruang eksperimen sendiri, jadi setiap malam aku tidak perlu terganggu oleh suara-suara dan efek samping dari eksperimen-eksperimen gilanya.
Kembali kuperhatikan boneka kayu itu. Boneka aneh. Yep! Boneka ini menyimpan sebuah aura tersendiri bagiku, bagaikan menyerapku untuk masuk ke dunianya. Entahlah... mungkin seperti itulah yang kurasakan saat ini. Tapi, sepertinya ini adalah sebuah boneka mahal, mengapa pemiliknya membuangnya? Ah, masa bodoh dengan hal itu!
===
                Alarm di ponselku berbunyi dengan nyaring sekali, membuatku terjaga dari mimpi-mimpi indahku. Hmm... sudah pagi. Aku bangkit dari ranjangku dan menggeliat mengendurkan otot-otoku. Kuperhatikan kembali jendela kamarku. Pantai di pagi hari ternyata memang indah sekali.
                Aku turun dari ranjangku, bermaksud untuk keluar dari kamar, dan... BRUKK. Apa ini? Mengapa aku terjatuh? Tunggu... kaki ini bukan milikku. Tangan ini juga bukan tanganku. Entah mengapa, rasanya sulit sekali aku bergerak. Aku meraba kakiku, juga tangan, serta wajahku. Terasa kasar semua. Ada apa ini?
                Aku bangkit dan mencoba berjalan ke arah sebuah cermin yang terpasang di kamarku. Meski dengan langkah yang terseok-seok, aku mencoba untuk berjalan ke arah cermin itu. Aku pun berdiri di hadapan cermin. Tunggu ada yang aneh. Aku tidak bisa melihat diriku sendiri di cermin, cermin itu terlalu tinggi bagiku, tak seperti biasanya. Dan... ah! Kamarku jadi terlihat besar sekali!
                Susah payah aku menarik-narik sebuah kursi ke hadapan cermin itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa duduk di kursi sangatlah susah. Aku harus sedikit memanjat. Dan ketika aku telah berdiri di atas kursi itu... astaga! Bayangan di dalam cermin itu bukanlah aku! Itu adalah sosok boneka kayu yang kutemukan di kamar belakang.
                Tidak mungkin. Ini tidak mungkin!
                Aku berlari keluar kamar, meski rasanya berat sekali menggerakkan otot-otot di tubuhku. Ah iya, boneka kayu tidak memiliki otot. Itulah sebabnya sangat sulit bagiku untuk menggerakkan tubuhku.
                Ketika aku tiba di ruang bawah, tak ada siapa-siapa disana. Ruang makan, dapur, ruang keluarga, dan ruang tamu seluruhnya sunyi senyap. Aku pun masuk ke dalam kamar orang tuaku. Tak ada siapapun disana. Alex pun tak ada di kamarnya maupun di ruang eksperimennya. Ini mustahil.
                Aku berlari keluar. Anehnya, jalanan terlihat sangat ramai, berbeda sekali dengan keadaan rumahku. Orang-orang terlihat saling berdesakan, sementara mobil-mobil saling membunyikan klaksonnya karena kemacetan yang tak dapat terhindari lagi. Bagaikan zombie, aku berjalan dengan linglung. Sesekali tubuhku terjerembab jatuh dan ditendang oleh orang-orang yang tengah berlalu lalang. Untungnya, saat itu tak ada yang menyadari keberadaanku. Jika orang-orang itu melihatku, pastilah mereka akan menjerit histeris. Bayangkan saja jika sebuah boneka kayu dapat berjalan dan berbicara di antara kalian.
                Hup! Aku merasa seseorang mengangkat tubuhku secara tiba-tiba dari belakang. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita tua berkacamata tengah menggenggamku. Rambutnya telah memutih seluruhnya. Senyumnya menyeringai. Ia menatapku dengan tatapan yang entah dapat diartikan seperti apa. Yang jelas, wanita tua ini tampak tidak bersahabat.
                “Oh, aku menemukanmu kembali anakku!” Serunya gembira.
                “Hei, tunggu dulu! Aku bukan anakmu!” Tukasku.
                “Oh, kamu sudah jadi durhaka sekarang. Ingat, semua ciptaanku akan kembali padaku.” Sahutnya tegas. Hei! Memangnya dia Tuhan, beraninya berkata seperti itu. Aku yakin, wanita tua ini pasti sama gilanya dengan Alex.
                Wanita tua yang tak kuketahui namanya itu membawaku ke sebuah toko boneka besar yang dipenuhi hiasan renda dan pita. Sebuah toko boneka unik dengan ornamen dan suasana lolita, membuat siapapun anak perempuan tertarik datang ke tempat ini. Kemudian ia menempatkanku pada sebah kotak kaca yang terletak pada etalase tokonya, bersanding dengan beberapa boneka lainnya.
===
                Aku hanya dapat menatap pasrah pada para pejalan kaki yang melewati toko boneka ini. Ingin rasanya aku bergerak, melambaikan tangan pada mereka, dan mengeluarkan suara meminta tolong. Namun apa daya, sebuah kekuatan besar yang entah asalnya dari mana seperti mengunciku. Hanya kedua bola mataku yang dapat bergerak-gerak liar memandang sekeliling.
                Jam tutup toko akhirnya tiba juga, dan kekuatan yang membelengguku terasa menghilang. Aku dapat menggerakkan kaki dan tanganku secara bebas, juga dapat mengeluarkan suara.
                “Hei, anak baru! Siapa namamu.” Terdengar suara seorang gadis cilik. Aku menoleh, di samping kiriku dua buah boneka anak perempuan tengah tersenyum padaku. Boneka yang satu mengenakan terusan berwarna putih, dengan pita ungu yang menghiasi kerahnya. Sementara, boneka yang satu lagi mengenakan terusan berwarna merah jambu dengan motif bunga. Aku membalas senyum mereka.
                “Aku Alfred.” Jawabku pelan.
                “Oh, Alfred. Perkenalkan, namaku Momo dan temanku yang ini adalah Ling.” Ucap boneka dengan terusan berwarna putih seraya menunjuk boneka yang satunya lagi. Aku sedikit membungkukkan tubuh, memberi hormat pada kedua boneka itu. Yah, meski rasanya ini sangat aneh bagiku, memberi hormat pada boneka yang bahkan tak pernah kulirik sebelumnya.
                “Anak-anak, hari ini sudah cukup! Kalian bisa istirahat.” Seru wanita tua itu. Sial, aku seperti berada di tempat penitipan anak saja. Aku mencoba memanjat keluar dari kotak kaca itu. Belum juga aku berhasil keluar, lagi-lagi wanita tua itu mengangkat tubuhku, lalu memperhatikanku secara seksama.
                “Dulu kamu nggak bisa bergerak, apalagi mengeluarkan suara. Aku frustasi, karena ini untuk pertama kalinya ciptaanku gagal. Tapi, sejak pemilikmu yang bernama Jannu itu kubunuh dan kupersembahkan untuk ritual hitam, kamu menghilang. Akhirnya, kamu kembali padaku.” Desis wanita tua itu pelan dengan senyum yang menyeringai. Oh tidak... nyawaku terjebak dalam tubuh boneka yang diciptakan oleh seorang nenek sihir gila yang mungkin saja merangkap sebagai psikopat.
                “Dasar Nenek Sihir gila!” Gumamku. Sepertinya wanita tua itu dapat mendengarku. Ia murka. Matanya secara tiba-tiba berubah menjadi berwarna merah, semerah darah. Kulitnya sedikit demi sedikit mengelupas. Sial, sepertinya aku melakukan kesalahan.
                Ia menjatuhkanku, lalu melangkah mundur perlahan-lahan. Dapat kulihat tubuhnya perlahan-lahan mulai berubah menjadi monster mengerikan dengan taring, cakar dan rambut yang dibelit oleh ular-ular kecil. Aku bergidik ngeri dan melangkah mundur ke belakang. Tak kusadari, Momo dan Ling menahanku dengan tangan-tangan mungil mereka. Mereka bukanlah Momo dan Ling yang baru saja kukenal. Wajah mereka yang terbuat dari kain dipenuhi dengan sayatan. Senyum mereka menyeringai.
                Wanita tua itu kembali mencengkeramku. Aku memberontak, berusaha melepaskan diri darinya. Namun apa daya, kekuatan besar itu kembali membelengguku. Aku tak sanggup bergerak, apalagi mengeluarkan suara. Oh, sial... habislah aku.
                KREEKK. Tiba-tiba terdengar pintu toko terbuka. Seorang pemuda masuk ke dalam toko boneka. Sepertinya aku mengenal wajah pemuda ini. Ah, benar juga! Ia adalah Alex, kakakku. Untuk apa dia datang kemari? Bukankah toko boneka ini telah tutup?
                Wanita tua itu telah kembali ke wujudnya semula, dan kekuatan yang mengikatku itu juga  telah menghilang. Huh, wanita tua yang mengerikan, dunia yang mengerikan.
                “Hai, aku butuh sebuah boneka.” Ucap Alex. Aku melirik padanya, tidak berani bergerak. Momo dan Ling juga hanya terdiam di tempatnya. Yang benar saja, Alex pasti akan pingsan melihat boneka dapat bergerak sendiri.
                Wanita tua itu memutar bola matanya, terlihat kesal dengan Alex. “Ini sudah masuk jam tutup toko.”
                “Tolonglah...” Tampak Alex memohon pada wanita tua itu. Ia menunjukkan akting yang selama ini dipelajarinya ketika ia masih menjadi anggota klub teater di sekolahnya. Entah bagaimana caranya, Alex mulai mengeluarkan air mata dihadapan wanita tua itu. Oh, sudah jelas tidak ada yang dapat membantah bahwa kakakku yang satu ini sangat piawai bersandiwara.
                “Oh, baiklah! Pilih yang anda suka!” Sepertinya wanita tua itu mulai luluh karena akting Alex. Kini Alex mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, memperhatikan detail setiap boneka yang terpajang di toko itu. Aku harap ia akan memilihku, lalu menyelamatkanku dari kegilaan ini.
                Benar saja, pandangan mata Alex berhenti padaku. Ia tersenyum simpul lalu mengangkat tubuhku.
                “Aku mau yang ini!” Seru Alex dengan mantap. Wanita tua itu terbelalak, begitu juga dengan Momo dan Ling. Yeah! Akhirnya aku dapat lepas dari jeratan wanita tua gila itu.
Wanita tua itu tampak tak rela melepaskanku. Ia berusaha membujuk Alex agar tidak memilihku. Namun sayangnya wanita tua ini tidak tahu bahwa Alex adalah anak yang keras kepala. Tentu saja, dia mempertahanku hingga wanita tua itu menyerah.
“Yang itu harganya mahal.” Sergah wanita tua itu.
“Berapapun harganya akan kubayar! Boneka ini keren sekali.” Sahut Alex seraya tersenyum. Wanita tua itu hanya menghela nafas dan mau tak mau ia harus menyerahkanku pada Alex. Alex tampak bahagia sekali, entah mengapa.
===
Alex membawaku ke rumah, tentu saja rumah kami. Dan, tanpa basa-basi lagi ia membawaku masuk ke ruang eksperimennya. Oh gila, apa mungkin ia akan menggunakanku sebagai obyek eksperimennya? Jika begitu, aku sama saja keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut singa.
“Hei, hentikan!” Selaku. Alex terperangah melihatku dapat berbicara. Ia menghantamkan tubuhku ke sebuah meja,sepertinya ia sedikit takut. Oh sial, ini sakit sekali. Meski saat ini aku sedang terjebak dalam tubuh boneka kayu, tapi rasa sakit yang diakibatkan sama seperti ketika aku berada di tubuhku sendiri.
“Kamu bisa bicara? Boneka bisa bicara?” Tanyanya tak percaya. Aku mengangguk, dan sebisa mungkin menghalangi kegiatan Alex terhadapku.
“Kami juga punya hati dan perasaan, jadi jangan sakiti kami.” Ucapku. Namun, sepertinya Alex tak mendengarku. Ia malah mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dengan mata yang berbinar-binar.
“Oh! Aku mendapatkan boneka paling hebat di dunia! Gila, mimpi apa aku semalam?” Serunya dengan suara yang terdengar sangat bangga. Harusnya aku yang berbicara seperti itu bukan? Mimpi aku semalam hingga aku bisa terperangkap di tubuh sebuah boneka kayu?
Bukannya berhenti, dia malah terlihat lebih semangat. Ia berlari seraya membawaku ke ruang eksperimennya. Sial, matilah aku.
Ia meletakkanku di sebuah meja aneh yang penuh dengan barang-barang dan cairan-cairan dalam botol yang aneh pula, sebut saja meja operasi. Ia mengikat kaki dan tanganku dengan sebuah tali yang tersambung dengan meja langsung dengan posisi terlentang. Sementara, ia sendiri menyiapkan bahan-bahan, entah apa itu.
Ia kembali lagi padaku dan membawa sebuah pisau lipat dan beberapa botol berisi cairan berwarna aneh. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukannya setelah ini.
“Hentikan! Hentikan! Aku adalah Alfred, adikmu! Masa kamu mau membunuh adikmu sendiri, ha?” Sergahku. Ia tertawa.
“Mana mungkin kamu adalah Alfred. Adikku itu sudah mati, lama sekali! Lagipula aku nggak pernah memiliki adik kandung bernama Alfred. Alfred yang itu hanyalah anak bawaan Ayah tiriku.” Ucapnya dengan nada tinggi. Aku tidak dapat mempercayai ini semua. Jelas-jelas aku masih hidup. Bahkan kemarin malam aku membantunya membersihkan ruang eksperimen ini. Lagipula, bukankah kami adalah saudara kandung? Sepertinya aku terlempar ke sebuah dimensi lain.
CRAASSHH. Tiba-tiba ia memotong tangan kananku dengan pisau lipatnya. Demi tuhan, ini terasa sakit sekali, meski tak ada darah yang mengalir keluar. Aku mengerang kesakitan, namun Alex sepertinya belum ingin berhenti menyiksaku. Ia tertawa seraya memotong tangan kiriku.
“Bagaimana rasanya, boneka?” Tanyanya dengan sinis. Aku menatap ke dalam matanya yang berkilat-kilat. Sepintas, yang kulihat bukanlah Alex, namun wanita tua gila pemilik toko boneka itu. Sepertinya wanita tua itu telah merasuki pikiran Alex.
“Kumohon... hentikan.” Ucapku lemah. Tapi Alex malah tertawa dengan kerasnya. Ia menatapku dengan mata yang berkilat-kilat itu. Ia bukanlah Alex yang kukenal.
Ia mengangkat pisau lipatnya tinggi-tinggi, mengarahkan pisau lipat itu di atas dadaku. Aku memejamkan mata sebelum Alex akhirnya menghujamkan mata pisaunya yang tajam itu.
“AAHHH!!!” Aku terbangun dari tidurku. Kuperhatikan sekelilingku, ini adalah kamarku. Jadi semua itu hanyalah mimpi? Sungguh tak percaya rasanya. Aku bersyukur lega.
Namun, ketika aku akan turun dari tempat tidurku, entah mengapa, tiba-tiba aku terjatuh. Sulit sekali rasanya aku bergerak. Kuperhatikan tangan dan kakiku. Tidak mungkin, ini bukan tangan dan kakiku. Lalu aku menoleh ke arah tempat tidurku. Disana, terbaring tubuhku yang terlelap dengan tenangnya di tempat tidur. Jika tubuhku ada disana, lalu tubuh siapa yang kugunakan ini?
Tidak! Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!



TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar