“Alfred, turun nak! Ayo
bantu-bantu!” Terdengar suara Mamaku memanggilku dari bawah. Aku segera keluar
dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang bawah, tanpa menutup jendela
kamarku terlebih dahulu.
Yep! Aku dan keluargaku baru
saja pindah ke Kota Tua Pevensie, sebuah kota kecil indah yang terletak di kaki
bukit Oz. Beruntungnya kami, karena kami memperoleh sebuah rumah yang nyaman
dan terletak di dekat pantai. Itulah sebabnya aku dapat melihat pantai dan laut
dari jendela kamarku.
“Alfred, kamu bantu kakakmu
beres-beres di kamar belakang.” Ujar Papaku. Aku hanya mengangguk dan berlari
menuju kamar belakang yang dimaksud oleh Papaku. Sebuah kamar berbau amis yang
menyengat, dengan suasana gelap dan menyeramkan.
Kamar
ini memang tidak akan dipakai untuk tidur oleh anggota keluargaku. Maka Alex, yang
kurasa mungkin sudah tidak waras, bermaksud untuk menjadikan kamar belakang itu
sebagai tempat melakukan eksperimen-eksperimen gilanya.
“Hei
Alex! Masih sudi kamu melakukan hal-hal gila begitu?” Yep! Alex adalah nama
kakakku yang tidak waras itu. Huh, aku tak akan sudi memanggilnya dengan
sebutan ‘kakak’. Yang benar saja, bahkan sikapku jauh lebih dewasa daripada
dia.
“Hei,
mau bantu nggak sih kamu? Ayo sini, bantu!” Dia menarik tanganku dengan kasar
dan memberikan sebuah sapu ijuk padaku. Sial, lagi-lagi aku diperlakukan
bagaikan pembantunya saja.
Dengan
enggan, aku menyapu seluruh ruangan itu seraya membersihkan sarang laba-laba
yang banyak bertebaran di ruangan itu, sementara Alex memindahkan barang-barang
yang ditimbun disana untuk kemudian dibuang. Tidak jarang aku menemukan bangkai
tikus, ular, atau hewan sebagainya di sudut-sudut ruangan. Ingin muntah
rasanya.
Hei!
Aku menemukan sebuah boneka kayu teronggok di kolong meja yang diletakkan di
salah satu sudut kamar itu. Boneka kayu itu berwujud anak laki-laki yang
mengenakan setelan pesta, yaitu kemeja putih dan jas hitam, dengan dasi pita
melingkar di kerah kemejanya. Kuperkirakan, boneka ini pasti sudah lama sekali
ditinggal oleh pemilik rumah ini sebelumnya. Kupungut boneka itu dan
kuperhatikan bagian telapak kaki dari boneka itu, tertulis sebuah nama disana. ‘Jannu’
“Ada
apa?” Tak kusadari, Alex ternyata menghampiriku dari belakang.
“Oh...
nggak apa-apa. Ini, aku menemukan sebuah boneka.” Aku menunjukkan boneka itu
padanya. Seperti biasa, ketika melihat boneka, matanya langsung berbinar-binar,
bagaikan elang yang sedang melihat mangsanya. Ia merebut boneka kayu itu dari
genggamanku.
“Yang
ini biar Kakak saja yang simpan! Lumayan, bisa jadi bahan eksperimen.” Ucapnya
senang. Aku segera merebutnya kembali.
“Enak
saja! Gila kamu! Boneka ini aku yang menemukan. Aku yang akan simpan boneka
ini!” Ucapku ketus pada Alex. Ia hanya menatapku sinis dan kembali melanjutkan
pekerjaannya memindahkan barang-barang. Memang benar-benar kakak yang aneh.
Akhirnya
acara bersih-bersih berakhir sudah. Aku kembali naik ke kamarku dan merebahkan
diri di kasur yang empuk. Sungguh nyaman sekali rumah ini. Apalagi rumah ini
cukup besar, tidak seperti rumahku yang lama. Kamar Alex berada jauh sekali
dari kamarku dan ia juga telah mempunyai ruang eksperimen sendiri, jadi setiap
malam aku tidak perlu terganggu oleh suara-suara dan efek samping dari
eksperimen-eksperimen gilanya.
Kembali
kuperhatikan boneka kayu itu. Boneka aneh. Yep! Boneka ini menyimpan sebuah
aura tersendiri bagiku, bagaikan menyerapku untuk masuk ke dunianya.
Entahlah... mungkin seperti itulah yang kurasakan saat ini. Tapi, sepertinya
ini adalah sebuah boneka mahal, mengapa pemiliknya membuangnya? Ah, masa bodoh
dengan hal itu!
===
Alarm di ponselku berbunyi
dengan nyaring sekali, membuatku terjaga dari mimpi-mimpi indahku. Hmm... sudah
pagi. Aku bangkit dari ranjangku dan menggeliat mengendurkan otot-otoku.
Kuperhatikan kembali jendela kamarku. Pantai di pagi hari ternyata memang indah
sekali.
Aku turun dari ranjangku,
bermaksud untuk keluar dari kamar, dan... BRUKK. Apa ini? Mengapa aku terjatuh?
Tunggu... kaki ini bukan milikku. Tangan ini juga bukan tanganku. Entah
mengapa, rasanya sulit sekali aku bergerak. Aku meraba kakiku, juga tangan,
serta wajahku. Terasa kasar semua. Ada apa ini?
Aku bangkit dan mencoba berjalan
ke arah sebuah cermin yang terpasang di kamarku. Meski dengan langkah yang
terseok-seok, aku mencoba untuk berjalan ke arah cermin itu. Aku pun berdiri di
hadapan cermin. Tunggu ada yang aneh. Aku tidak bisa melihat diriku sendiri di
cermin, cermin itu terlalu tinggi bagiku, tak seperti biasanya. Dan... ah!
Kamarku jadi terlihat besar sekali!
Susah payah aku menarik-narik
sebuah kursi ke hadapan cermin itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa duduk di
kursi sangatlah susah. Aku harus sedikit memanjat. Dan ketika aku telah berdiri
di atas kursi itu... astaga! Bayangan di dalam cermin itu bukanlah aku! Itu
adalah sosok boneka kayu yang kutemukan di kamar belakang.
Tidak mungkin. Ini tidak
mungkin!
Aku berlari keluar kamar, meski
rasanya berat sekali menggerakkan otot-otot di tubuhku. Ah iya, boneka kayu
tidak memiliki otot. Itulah sebabnya sangat sulit bagiku untuk menggerakkan
tubuhku.
Ketika aku tiba di ruang bawah,
tak ada siapa-siapa disana. Ruang makan, dapur, ruang keluarga, dan ruang tamu
seluruhnya sunyi senyap. Aku pun masuk ke dalam kamar orang tuaku. Tak ada
siapapun disana. Alex pun tak ada di kamarnya maupun di ruang eksperimennya.
Ini mustahil.
Aku berlari keluar. Anehnya,
jalanan terlihat sangat ramai, berbeda sekali dengan keadaan rumahku. Orang-orang
terlihat saling berdesakan, sementara mobil-mobil saling membunyikan klaksonnya
karena kemacetan yang tak dapat terhindari lagi. Bagaikan zombie, aku berjalan
dengan linglung. Sesekali tubuhku terjerembab jatuh dan ditendang oleh
orang-orang yang tengah berlalu lalang. Untungnya, saat itu tak ada yang
menyadari keberadaanku. Jika orang-orang itu melihatku, pastilah mereka akan
menjerit histeris. Bayangkan saja jika sebuah boneka kayu dapat berjalan dan
berbicara di antara kalian.
Hup! Aku merasa seseorang
mengangkat tubuhku secara tiba-tiba dari belakang. Aku menoleh dan mendapati
seorang wanita tua berkacamata tengah menggenggamku. Rambutnya telah memutih
seluruhnya. Senyumnya menyeringai. Ia menatapku dengan tatapan yang entah dapat
diartikan seperti apa. Yang jelas, wanita tua ini tampak tidak bersahabat.
“Oh, aku menemukanmu kembali
anakku!” Serunya gembira.
“Hei, tunggu dulu! Aku bukan
anakmu!” Tukasku.
“Oh, kamu sudah jadi durhaka
sekarang. Ingat, semua ciptaanku akan kembali padaku.” Sahutnya tegas. Hei!
Memangnya dia Tuhan, beraninya berkata seperti itu. Aku yakin, wanita tua ini
pasti sama gilanya dengan Alex.
Wanita tua yang tak kuketahui
namanya itu membawaku ke sebuah toko boneka besar yang dipenuhi hiasan renda
dan pita. Sebuah toko boneka unik dengan ornamen dan suasana lolita, membuat siapapun anak perempuan
tertarik datang ke tempat ini. Kemudian ia menempatkanku pada sebah kotak kaca
yang terletak pada etalase tokonya, bersanding dengan beberapa boneka lainnya.
===
Aku hanya dapat menatap pasrah
pada para pejalan kaki yang melewati toko boneka ini. Ingin rasanya aku
bergerak, melambaikan tangan pada mereka, dan mengeluarkan suara meminta
tolong. Namun apa daya, sebuah kekuatan besar yang entah asalnya dari mana
seperti mengunciku. Hanya kedua bola mataku yang dapat bergerak-gerak liar
memandang sekeliling.
Jam tutup toko akhirnya tiba
juga, dan kekuatan yang membelengguku terasa menghilang. Aku dapat menggerakkan
kaki dan tanganku secara bebas, juga dapat mengeluarkan suara.
“Hei, anak baru! Siapa namamu.”
Terdengar suara seorang gadis cilik. Aku menoleh, di samping kiriku dua buah
boneka anak perempuan tengah tersenyum padaku. Boneka yang satu mengenakan
terusan berwarna putih, dengan pita ungu yang menghiasi kerahnya. Sementara,
boneka yang satu lagi mengenakan terusan berwarna merah jambu dengan motif
bunga. Aku membalas senyum mereka.
“Aku Alfred.” Jawabku pelan.
“Oh, Alfred. Perkenalkan, namaku
Momo dan temanku yang ini adalah Ling.” Ucap boneka dengan terusan berwarna putih
seraya menunjuk boneka yang satunya lagi. Aku sedikit membungkukkan tubuh,
memberi hormat pada kedua boneka itu. Yah, meski rasanya ini sangat aneh
bagiku, memberi hormat pada boneka yang bahkan tak pernah kulirik sebelumnya.
“Anak-anak, hari ini sudah
cukup! Kalian bisa istirahat.” Seru wanita tua itu. Sial, aku seperti berada di
tempat penitipan anak saja. Aku mencoba memanjat keluar dari kotak kaca itu.
Belum juga aku berhasil keluar, lagi-lagi wanita tua itu mengangkat tubuhku,
lalu memperhatikanku secara seksama.
“Dulu kamu nggak bisa bergerak,
apalagi mengeluarkan suara. Aku frustasi, karena ini untuk pertama kalinya
ciptaanku gagal. Tapi, sejak pemilikmu yang bernama Jannu itu kubunuh dan
kupersembahkan untuk ritual hitam, kamu menghilang. Akhirnya, kamu kembali
padaku.” Desis wanita tua itu pelan dengan senyum yang menyeringai. Oh tidak...
nyawaku terjebak dalam tubuh boneka yang diciptakan oleh seorang nenek sihir
gila yang mungkin saja merangkap sebagai psikopat.
“Dasar Nenek Sihir gila!” Gumamku.
Sepertinya wanita tua itu dapat mendengarku. Ia murka. Matanya secara tiba-tiba
berubah menjadi berwarna merah, semerah darah. Kulitnya sedikit demi sedikit
mengelupas. Sial, sepertinya aku melakukan kesalahan.
Ia menjatuhkanku, lalu melangkah
mundur perlahan-lahan. Dapat kulihat tubuhnya perlahan-lahan mulai berubah
menjadi monster mengerikan dengan taring, cakar dan rambut yang dibelit oleh
ular-ular kecil. Aku bergidik ngeri dan melangkah mundur ke belakang. Tak
kusadari, Momo dan Ling menahanku dengan tangan-tangan mungil mereka. Mereka
bukanlah Momo dan Ling yang baru saja kukenal. Wajah mereka yang terbuat dari
kain dipenuhi dengan sayatan. Senyum mereka menyeringai.
Wanita tua itu kembali
mencengkeramku. Aku memberontak, berusaha melepaskan diri darinya. Namun apa
daya, kekuatan besar itu kembali membelengguku. Aku tak sanggup bergerak,
apalagi mengeluarkan suara. Oh, sial... habislah aku.
KREEKK. Tiba-tiba terdengar
pintu toko terbuka. Seorang pemuda masuk ke dalam toko boneka. Sepertinya aku
mengenal wajah pemuda ini. Ah, benar juga! Ia adalah Alex, kakakku. Untuk apa
dia datang kemari? Bukankah toko boneka ini telah tutup?
Wanita tua itu telah kembali ke
wujudnya semula, dan kekuatan yang mengikatku itu juga telah menghilang. Huh, wanita tua yang
mengerikan, dunia yang mengerikan.
“Hai, aku butuh sebuah boneka.”
Ucap Alex. Aku melirik padanya, tidak berani bergerak. Momo dan Ling juga hanya
terdiam di tempatnya. Yang benar saja, Alex pasti akan pingsan melihat boneka
dapat bergerak sendiri.
Wanita tua itu memutar bola
matanya, terlihat kesal dengan Alex. “Ini sudah masuk jam tutup toko.”
“Tolonglah...” Tampak Alex
memohon pada wanita tua itu. Ia menunjukkan akting yang selama ini
dipelajarinya ketika ia masih menjadi anggota klub teater di sekolahnya. Entah
bagaimana caranya, Alex mulai mengeluarkan air mata dihadapan wanita tua itu.
Oh, sudah jelas tidak ada yang dapat membantah bahwa kakakku yang satu ini
sangat piawai bersandiwara.
“Oh, baiklah! Pilih yang anda
suka!” Sepertinya wanita tua itu mulai luluh karena akting Alex. Kini Alex mengedarkan
pandangannya ke seluruh ruangan, memperhatikan detail setiap boneka yang
terpajang di toko itu. Aku harap ia akan memilihku, lalu menyelamatkanku dari
kegilaan ini.
Benar saja, pandangan mata Alex
berhenti padaku. Ia tersenyum simpul lalu mengangkat tubuhku.
“Aku mau yang ini!” Seru Alex
dengan mantap. Wanita tua itu terbelalak, begitu juga dengan Momo dan Ling.
Yeah! Akhirnya aku dapat lepas dari jeratan wanita tua gila itu.
Wanita
tua itu tampak tak rela melepaskanku. Ia berusaha membujuk Alex agar tidak
memilihku. Namun sayangnya wanita tua ini tidak tahu bahwa Alex adalah anak
yang keras kepala. Tentu saja, dia mempertahanku hingga wanita tua itu
menyerah.
“Yang
itu harganya mahal.” Sergah wanita tua itu.
“Berapapun
harganya akan kubayar! Boneka ini keren sekali.” Sahut Alex seraya tersenyum.
Wanita tua itu hanya menghela nafas dan mau tak mau ia harus menyerahkanku pada
Alex. Alex tampak bahagia sekali, entah mengapa.
===
Alex
membawaku ke rumah, tentu saja rumah kami. Dan, tanpa basa-basi lagi ia
membawaku masuk ke ruang eksperimennya. Oh gila, apa mungkin ia akan
menggunakanku sebagai obyek eksperimennya? Jika begitu, aku sama saja keluar
dari mulut buaya, masuk ke mulut singa.
“Hei,
hentikan!” Selaku. Alex terperangah melihatku dapat berbicara. Ia menghantamkan
tubuhku ke sebuah meja,sepertinya ia sedikit takut. Oh sial, ini sakit sekali.
Meski saat ini aku sedang terjebak dalam tubuh boneka kayu, tapi rasa sakit
yang diakibatkan sama seperti ketika aku berada di tubuhku sendiri.
“Kamu
bisa bicara? Boneka bisa bicara?” Tanyanya tak percaya. Aku mengangguk, dan
sebisa mungkin menghalangi kegiatan Alex terhadapku.
“Kami
juga punya hati dan perasaan, jadi jangan sakiti kami.” Ucapku. Namun,
sepertinya Alex tak mendengarku. Ia malah mengangkat tubuhku tinggi-tinggi
dengan mata yang berbinar-binar.
“Oh!
Aku mendapatkan boneka paling hebat di dunia! Gila, mimpi apa aku semalam?”
Serunya dengan suara yang terdengar sangat bangga. Harusnya aku yang berbicara
seperti itu bukan? Mimpi aku semalam hingga aku bisa terperangkap di tubuh
sebuah boneka kayu?
Bukannya
berhenti, dia malah terlihat lebih semangat. Ia berlari seraya membawaku ke
ruang eksperimennya. Sial, matilah aku.
Ia
meletakkanku di sebuah meja aneh yang penuh dengan barang-barang dan
cairan-cairan dalam botol yang aneh pula, sebut saja meja operasi. Ia mengikat
kaki dan tanganku dengan sebuah tali yang tersambung dengan meja langsung
dengan posisi terlentang. Sementara, ia sendiri menyiapkan bahan-bahan, entah
apa itu.
Ia
kembali lagi padaku dan membawa sebuah pisau lipat dan beberapa botol berisi
cairan berwarna aneh. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukannya setelah
ini.
“Hentikan!
Hentikan! Aku adalah Alfred, adikmu! Masa kamu mau membunuh adikmu sendiri,
ha?” Sergahku. Ia tertawa.
“Mana
mungkin kamu adalah Alfred. Adikku itu sudah mati, lama sekali! Lagipula aku
nggak pernah memiliki adik kandung bernama Alfred. Alfred yang itu hanyalah
anak bawaan Ayah tiriku.” Ucapnya dengan nada tinggi. Aku tidak dapat
mempercayai ini semua. Jelas-jelas aku masih hidup. Bahkan kemarin malam aku
membantunya membersihkan ruang eksperimen ini. Lagipula, bukankah kami adalah
saudara kandung? Sepertinya aku terlempar ke sebuah dimensi lain.
CRAASSHH.
Tiba-tiba ia memotong tangan kananku dengan pisau lipatnya. Demi tuhan, ini
terasa sakit sekali, meski tak ada darah yang mengalir keluar. Aku mengerang
kesakitan, namun Alex sepertinya belum ingin berhenti menyiksaku. Ia tertawa
seraya memotong tangan kiriku.
“Bagaimana
rasanya, boneka?” Tanyanya dengan sinis. Aku menatap ke dalam matanya yang
berkilat-kilat. Sepintas, yang kulihat bukanlah Alex, namun wanita tua gila
pemilik toko boneka itu. Sepertinya wanita tua itu telah merasuki pikiran Alex.
“Kumohon...
hentikan.” Ucapku lemah. Tapi Alex malah tertawa dengan kerasnya. Ia menatapku
dengan mata yang berkilat-kilat itu. Ia bukanlah Alex yang kukenal.
Ia
mengangkat pisau lipatnya tinggi-tinggi, mengarahkan pisau lipat itu di atas
dadaku. Aku memejamkan mata sebelum Alex akhirnya menghujamkan mata pisaunya
yang tajam itu.
“AAHHH!!!”
Aku terbangun dari tidurku. Kuperhatikan sekelilingku, ini adalah kamarku. Jadi
semua itu hanyalah mimpi? Sungguh tak percaya rasanya. Aku bersyukur lega.
Namun,
ketika aku akan turun dari tempat tidurku, entah mengapa, tiba-tiba aku
terjatuh. Sulit sekali rasanya aku bergerak. Kuperhatikan tangan dan kakiku.
Tidak mungkin, ini bukan tangan dan kakiku. Lalu aku menoleh ke arah tempat
tidurku. Disana, terbaring tubuhku yang terlelap dengan tenangnya di tempat
tidur. Jika tubuhku ada disana, lalu tubuh siapa yang kugunakan ini?
Tidak!
Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!
TAMAT





0 komentar:
Posting Komentar