Minggu, 25 November 2012

Emily: Gadis Cilik Di Balik Jendela Kaca

                Dari balik jendela kaca kamarku, aku dapat melihat gadis cilik itu dengan jelas. Gadis yang sebulan terakhir sering bermain di halaman rumahku. Gadis itu selalu mengenakan pakaian yang sama, terusan berwarna hijau dengan rok berlipit putih. Rasanya, sejak keluargaku pindah ke kota ini, aku tak pernah melihat gadis cilik itu. Entahlah, mungkin gadis itu baru pindah ke kota ini.
                Gadis itu, setiap senja, selalu bermain sendiri di halaman depan rumahku. Bahkan, ia dapat bermain hingga malam hari. Aneh sekali, kemana orang tuanya? Mengapa mereka membiarkan putri kecilnya bermain sendiri di malam hari? Bukankah itu berbahaya? Ketika aku menemui Boby untuk bermain sepak bola  di taman, aku menemukan banyak gadis cilik bermain disana. Namun aku tak menemukan si gadis kecil yang selalu bermain di halaman rumahku itu.
                Hari ini, aku bermaksud untuk menghampiri gadis cilik itu. Mungkin saja ia tinggal tidak jauh dari kompleks rumahku, sehingga aku dapat mengantarnya pulang. Dari balik jendela kaca, aku menunggu kehadiran gadis cilik yang tak kutahu namanya itu. Oh, mungkin nanti aku dapat menanyakan namanya.
                Benar saja, gadis itu muncul. Tanpa basa-basi lagi, aku segera menghambur keluar menuju halaman depan rumah. Namun apa yang kudapat? Hanya lapangan kosong dengan rerumputan yang digoyang oleh desiran angin yang cukup kuat. Aneh, kemana gadis itu? Tidak mungkin ia dapat berlari keluar dari halamanku yang luas dalam waktu setengah menit. Ya, aku memang seorang pelari hebat di kota ini, tapi tak mungkin gadis itu dapat berlari lebih cepat dariku.
                Esoknya, gadis cilik itu muncul kembali. Ia melambai-lambaikan tangan padaku, seakan mengajakku untuk bermain dengannya. Berarti, kemarin ia telah melihatku. Mungkin kemarin ia hanya bersembunyi di balik semak-semak untuk menggodaku.
                Aku segera turun dan kali ini aku menemui gadis itu. Ya, kini ia benar-benar berdiri di hadapanku. Kedua tangannya ia lipat ke belakang, dengan kepala tertunduk dan kaki sebelah kanannya yang menggesek-gesek tanah di  bawahnya.
                “Siapa namamu?” Tanyaku.
                Gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum simpul padaku. “Namaku... Aku adalah Emily!” Gadis cilik itu menjawab dengan riangnya. Tapi aku tak dapat menghilangkan perasaan aneh ketika pertama kali bertemu gadis cilik itu. Ya, gadis itu terlalu aneh.
                “Berapa umurmu? Kenapa kau bermain disini sendirian? Dimana orang tuamu?”
                “Kakak terlalu cerewet, masa aku tidak boleh bermain disini?” Ia mengerucutkan bibirnya, terlihat kesal pada sikapku.
                “Bukan... bukan tidak boleh, Emily, tapi ini sudah senja. Sebentar lagi malam akan datang...”
                “Lalu?”
                “Kau harus segera pulang, seorang gadis cilik bermain sendirian di malam hari sangat berbahaya. Kakak akan mengantarmu.”
                Oh, kali ini Emily benar-benar merasa kesal padaku. Ia menghentakkan kakinya ke tanah. “Tidak perlu! Aku akan pulang sendiri!” Ia kemudian berlari keluar dari halaman rumahku. Aku segera mengejarnya, sempat kulihat punggungnya sebelum ia menghilang di belokan dekat toko loak.
===
                “Apa selama kita tinggal disini, ibu tahu sebuah keluarga yang tidak merawat putrinya dengan baik sehingga mereka tak peduli jika putrinya bermain sendirian di malam hari?” Tanyaku sambil mencomot sebuah kue dari meja makan.
                “Setahu ibu, tidak ada yang seperti itu. Nyonya Anna yang memiliki seorang putri berumur 9 tahun juga tak pernah membiarkan putrinya bermain sendirian pada malam hari.”
                “Siapa nama putrinya?”
                “Clara.. Clara Paulline.” Jawab ibuku. Sepertinya ibu merasa aneh dengan pertanyan yang kuajukan padanya. Ia menatapku dengan mimik serius, seakan berkata untuk-apa-menanyakan-hal-yang-tidak-penting-pada-ibu-yang-sedang-sibuk.
                “David! David!” Tiba-tiba, pintu depan diketuk oleh seseorang yang secara tak sopan berteriak memanggil namaku. Pastilah itu Boby. Kulihat ibuku memukul-mukul kepalanya dengan sangat kesal, dan dengan tatapan mengintimidasi memaksaku untuk segera enyah membawa si pengganggu, Boby, sejauh mungkin.
                “Hei! Besok pertandingan dimulai! Hari ini SMA kita harus berlatih sampai malam.” Ucap Boby beberapa saat setelah kubuka pintu. Aku terbelalak. Oh, aku yakin besok kakiku tidak dapat digerakkan akibat latihan hari ini.
                Di tengah perjalanan menuju taman, tanpa sengaja aku menangkap sosok Emily yang sedang berjalan sendiri dengan kepala tertunduk. Kali ini, gadis cilik itu membawa boneka beruang berwarna coklat yang cukup besar.
                “Kau duluan saja, aku ada urusan sebentar. Aku akan segera menyusul!” Aku meninggalkan Boby yang heran melihat sikapku. Diam-diam, aku mengikuti kemana Emily pergi. Aku terus membuntutinya hingga kami tiba di depan rumahku sendiri. Benar juga, seharusnya aku tahu bahwa gadis itu akan bermain di halaman rumahku lagi.
Aku menunggu gadis itu bermain sendiri hingga merasa bosan. Kemudian, ketika ia memutuskan untuk pulang, aku kembali mengekor di belakangnya. Tepat seperti dugaanku, ketika tiba di belokan dekat toko loak, ia mengambil jalan ke kanan. Aku terus mengikutinya hingga ia berhenti di hadapan sebuah bangunan besar di sudut jalan. Ah, mungkinkah ini rumahnya? Keluarganya mungkin sebuah keluarga berada yang terlalu sibuk bekerja sehingga menelantarkan putrinya.
“Oi! Kau sedang apa disini?” Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh, dan mendapati Boby tengah mendelik kepadaku. Bagaimana ia bisa tahu aku sedang disini? Jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, ia juga sedang membuntutiku.
Ketika aku menoleh kembali untuk melihat Emily, gadis itu telah menghilang. Ah, mungkin ia sudah masuk ke dalam rumahnya. Kalau begitu, aku akan mencari tahu keluarga yang menghuni rumah ini esok hari.
===
Setelah pertandingan sepak bola berakhir, aku memutuskan untuk kembali pergi ke rumah besar itu. Mungkin kali ini aku harus mengajak Boby, bagaimanapun juga ia tidak suka aku menyembunyikan sesuatu darinya.
Entah mengapa aku ingin menyelidiki tentang Emily. Tak ada yang spesial dari gadis cilik itu, hanya saja aku melihat sesuatu yang berbeda dari sorot matanya ketika ia menatapku waktu itu. Meski ia tersenyum dan tertawa dengan riangnya, kedua bola matanya tak dapat menyembunyikan sebuah kejanggalan. Bila harus kesebut, sebuah gelagat yang tak biasa.
“Oh! Luar biasa! SMA kita memenangkan pertandingan ini!” Sam, kapten tim kami, berjingkrak-jingkrak seusai pertandingan sepak bola. Ya, tim kami memengkan pertandingan pada babak semifinal, itu berarti kami akan segera menyambut partai final.
“Boby, ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Ucapku secara diam-diam dan menarik Boby menjauh dari kerumunan tim dan sorak sorai penonton.
“Oh, ada apa ini? Baru kali ini aku melihatmu serius, David.”
Aku menelan ludah dan mulai bercerita pada Boby. “Sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa penasaran pada seorang gadis cilik yang sering bermain di halaman rumahku. Gadis itu, bagaimana aku mengatakannya... emm... gadis itu menurutku sangat aneh....”
“Aneh? Apa yang aneh?” Aku segera menceritakan pada Boby bahwa gadis itu selalu bermain sendiri di senja hari dan bagaimana aku bertemu dengan gadis cilik itu pertama kali.
“Kalau begitu, kita memang harus segera menyelidikinya.” Seru Boby dengan semangat.
===
Aku menunjukkan bangunan besar di sudut belokan itu pada Boby. Seketika, ia terkejut dan dengan mimik tak percaya ia mencengkeram tanganku.
“Apa kau berpikir seorang gadis cilik akan tinggal di panti jompo yang akan segera dirobohkan?” Tanya Boby seraya menunjuk bangunan besar itu. Aku terbelalak, sama terkejutnya dengan Boby. Kami segera masuk ke dalam dan mencari informasi tentang keberadaan Emily, namun tak ada tanda bahwa Emily pernah tinggal disana. Bahkan resepsionis pun tak memiliki data tentang gadis cilik bernama Emily.
“Mungkin Emily itu sejenis makhluk astral?” Ucap Boby ketika kami duduk di sofa di ruang tunggu panti jompo itu.
“Jangan sok tahu!” Aku menjitak kepala Boby, dan ia hanya meringis seraya memegangi kepalanya.
“Emily? Kalian bilang Emily?” Seorang pria, yang kuyakini adalah salah satu perawat di panti  jompo itu, menatap kami dengan tatapan tak percaya.
“Yang kami maksud adalah seorang gadis cilik bernama Emily, berambut kecoklatan sebahu dengan bola mata berwarna kecoklatan pula. Apa anda mengenalnya?”
“Ya... Emily adalah gadis yang pernah saya sukai, secara sepihak.”
Mata Boby menyipit, ia menatap pria itu lekat.
“Anda... menyukai gadis cilik?” Tanya Boby penasaran. Ah, benar juga, mana mungkin pria berusia tiga puluhan tahun ini menyukai seorang gadis cilik berusia sekitar sembilan tahun? Pasti saat ini Boby berpikir bahwa pemuda yang berada dihadapannya itu adalah seorang pedhopill.
“Maksud saya, itu 20 tahun lalu. Ketika saya masih seumuran dengan Emily.” Jawabnya dengan suara tergetar. Oh, kini aku semakin tak mengerti. Dua puluh tahun lalu, seharusnya Emily belum dilahirkan bukan?
“Anda tidak perlu bercanda dengan kami!” Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, Boby telah lebih dulu mengambil ancang-ancang dan membentak si pria.
“Saya sungguh tidak bohong. Emily adalah sahabat saya semasa kecil.” Air mata mulai mebasahi pipi pria itu. Ia menggigit punggung tangannya sebelum mulai melanjutkan cerita. “Kami teman sangat dekat, mungkin seperti kalian ini. Kami selalu bermain bersama. Panti jompo ini, dulunya adalah rumah milik keluarga Emily, sebelum peristiwa itu mengubah semuanya...”
“Peristiwa apa?” Tanyaku penasaran.
“Waktu itu, sebuah kebakaran hebat terjadi dan menghanguskan rumah Emily hingga benar-benar hangus tak bersisa. Ketika itu, kedua orang tuanya sedang bekerja dan mereka meninggalkan Emily sendiri di rumahnya. Ia tak terselamatkan. Padahal, beberapa menit sebelum kebakaran itu terjadi, saya sempat menemui Emily, mengajaknya bermain di taman,” pria itu menunduk seraya terisak, dan melanjutkan. “Lalu kedua orang tuanya merasa sangat bersalah dan memutuskan untuk pindah ke kota lain. Mereka menyumbangkan tanahnya kepada pemerintah.”
“David...” Boby kembali mencengkeram tanganku. “Benar kan apa yang aku katakan? Emily itu adalah makhluk astral. Jadi, yang selama ini kau lihat dan kau buntuti adalah... hantu...”
“A-apa? Kalian melihatnya? Jangan bercanda! Emily telah meninggal 20 tahun lalu!”
Aku menelan ludah dan mengangguk cepat. Seakan waktu terhenti, sepanjang pembicaraan ini, tak ada satupun manusia yang berlalu lalang di hadapan kami. Ya, hanya ada kami bertiga saat itu.
“Ngomong-ngomong, siapa nama anda?” Tanyaku.
Pria itu mendongakkan wajahnya, berusaha menatap kami. Ia menyeka air matanya. Kemudian ia tersenyum simpul, senyum yang sama seperti senyum milik Emily. “Saya adalah Josh... Josh Williams.”
===
“Ini mustahil David! Lihatlah ini!” Boby menunjukkan artikel pada sebuah surat kabar yang baru saja terbit. Kubaca judul yang terpampang dengan sangat jelas disana, “Seorang pembunuh dieksekusi mati minggu lalu.”
“Ada apa dengan itu?” Aku menuangkan teh hangat dari sebuah poci perak ke cangkir teh milikku dan milik Boby. Aku menyesap tehku perlahan, seraya memperhatikan Boby yang sedang berkacak pinggang melihatku kesal. Aku tertawa.
“Jangan tertawa!” Ia melemparkan surat kabar itu padaku. “Baca itu! Kau tak akan bisa tertawa lagi.”
Aku membaca artikel itu secara seksama. Betapa terkejutnya aku ketika melihat foto yang terpampang disana. “Josh Williams, seorang pembunuh yang telah memakan puluhan korban dieksekusi mati minggu lalu.” Aku menelan ludah, menatap Boby tak percaya. Ia hanya menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya.
“Apa kau masih bisa tertawa, eh?” Kini ia yang tertawa.
“Bukankah baru kemarin kita berbincang dengan Josh Williams itu? Berarti... yang kita ajak bicara kemarin adalah... hantu?” Saat ini, aku benar-benar merasa ketakutan. Aku berjalan perlahan menuju jendela kaca kamarku, sehingga aku dapat melihat pemandangan halaman rumahku dengan jelas. Setidaknya, dengan begitu, aku dapat menenangkan diriku sedikit.
“David, jika benar begitu, apa mungkin semua yang dikatakan hantu Josh Williams waktu itu adalah kebohongan?” Tanya Boby. Ia mendekat dan merangkul bahuku.
“Tapi, jika itu semua bohong... lalu siapa sebenarnya gadis cilik yang berdiri disana itu? Dan mengapa setiap petang ia bermain di halaman rumahku?” Aku menunjuk sesosok gadis cilik yang berdiri di halaman depan rumahku. Masih dengan pakaian yang sama, terusan berwarna hijau dan rok berlipit putih. Ia menatap kami dengan senyum yang menyeringai dan wajah yang jauh lebih pucat dari biasanya.
TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar